Mabes Polri Evaluasi Kinerja Anggotanya di Lapangan Atas Kekerasan Terhadap Jurnalis

Mabes Polri Evaluasi Kinerja Anggotanya di Lapangan Atas Kekerasan Terhadap Jurnalis
Kadiv Humas Mabes Polri, Brigjen Pol Boy Rafli Amar

TerasJatim.com, Jakarta – Kasus kekerasan terhadap jurnalis masih berlanjut hingga kini. Selasa (03/05) kemarin, polisi membubarkan peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia dan Pemutaran Film “Pulau Buru Tanah Air Beta” di kantor Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta.

Dalam rilisnya, AJI mencatat sepanjang Mei 2015 hingga April 2016 terjadi 39 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Kasus itu dilakukan dalam berbagai bentuk, seperti pengusiran, pengrusakan alat, bahkan kekerasan fisik.

Kasus kekerasan tersebut paling banyak dilakukan oleh warga, polisi, pejabat pemerintah, TNI, Satpol PP. Sementara itu selama 2015, pelaku kekerasan terhadap jurnalis paling banyak dilakukan oleh polisi.

Menanggapi sekian kasus itu, Kadiv Humas Mabes Polri, Brigjen Boy Rafli Amar mengatakan, pihaknya akan mengevaluasi kerja petugas di lapangan.  “Kami terima, nanti akan jadi bahan evaluasi di lapangan. Laporan yang ada laporkan kepada kami untuk menjadi bahan evaluasi sekaligus koordinasi bersama juga, dalam hal ini terkait masalah keamanan bagi media,” kata Boy, seperti dilansir CNN INdonesia, Rabu (04/05).

Boy mengatakan kepentingan jurnalis dan pihak kepolisian kadang berbeda saat menjalankan tugasnya masing-masing. Hal tersebut memungkinkan terjadinya benturan di lapangan.

“Kadang-kadang kepentingan media mencari fakta sebanyak-banyaknya bertentangan dengan protokol, jadi dianggap sebagai suatu penghambat, tapi itu perlu dikaji lagi apakah tugas itu sedemikian rupa,” ujar Boy.

Meski demikian, Boy mengimbau para pekerja media melaporkan kasus kekerasan yang dialami para jurnalis dalam menjalankan tugasnya. Jika ada pelanggaran tindak pidana yang dilakukan aparat kepolisian, pihaknya akan memproses secara hukum.

“Kekerasan adalah musuh bersama, cuma kadang kita berbeda pandangan,” katanya.

Boy menjelaskan, perbedaan pandangan yang dimaksud misalnya pada kasus pelarangan pemutaran film tentang tragedi 1965.

Di satu sisi wartawan memandang hal itu didasari kebebasan berekspresi. Sementara di sisi lain, polisi memandang harus melindungi kepentingan pihak lain yang tidak ingin komunisme bangkit kembali.

“Ada kepentingan lain yang harus kita perhatikan,” kata Boy. (Her/Red/TJ)

Subscribe

Terimakasih Telah Berlangganan Berita Teras Jatim