Kali Putih, Potret Dilema Pertambangan Pasir Rakyat di Kabupaten Blitar

Kali Putih, Potret Dilema Pertambangan Pasir Rakyat di Kabupaten Blitar

TerasJatim.com, Blitar – Sejak dibuka kembali pasca bencana banjir bandang yang menghanyutkan belasan armada truk beserta puluhan sepeda motor milik para penambang pada Januari 2016 lalu, area pertambangan pasir yang terletak di utara Dusun Sumbersuko Desa Karangrejo Garum dan perbatasan Desa Sumberagung Gandusari, masih menyisakan banyak pekerjaan rumah bagi pemangku kebijakan di wilayah Kabupaten Blitar.

Hal ini terkait dampak penambangan pasir rakyat secara massal yang menyimpan banyak potensi persoalan di kemudian hari. Potensi persoalan yang dimaksud ternyata cukup kompleks, mulai dari kondisi jalan yang rusak akibat dilewati ratusan truk over tonase yang hilir mudik melewati Desa Karangrejo, Sidodadi, Modangan, Penataran hingga ke area Kota Blitar.

Ketentuan batas maksimum tonase truk yang ditetapkan paling maksimal 6 ton. Namun masih banyak dilanggar oleh para sopir pengangkut material pasir dan batu kali dari aliran sungai Kali Putih yang sebagian besar didominasi truk luar kota, seperti dari wilayah Tulungagung, Trenggalek, Ponorogo, Madiun hingga Lamongan dan Tuban.

Akibatnya, warga di beberapa wilayah sekitar memasang peringatan keras agar truk yang over tonase dilarang melewati wilayah mereka. Pemasangan papan dan tanda larangan tersebut, dikarenakan kekesalan warga yang jalan di wilayahnya menjadi mudah rusak karena dilewati truk yang over tonase dan tidak sesuai dengan kelas jalan yang dilalui. Sehingga tidak heran banyak spanduk penolakan yang bermunculan di area yang dilewati truk-truk tambang tersebut.

“Mereka yang dapat barokahnya, warga sini yang kena getahnya,” ungkap seorang warga Jaten yang menolak disebutkan namanya kepada TerasJatim.com, Kamis, (28/07)

Masalah pelarangan tonase ternyata tidak hanya menjadi persoalan utama di lokasi penambangan. Perputaran uang dari hasil menambang pasir Kelud ternyata membuat sebagian anak-anak usia sekolah yang akhirnya lebih senang mengayunkan sekop untuk mencari pasir daripada duduk di bangku ruang kelas sebagai kewajiban utamanya menuntut ilmu.

Hal tersebut sudah menjadi pemandangan umum di Kali Putih, ketika bocah laki-laki usia Sekolah Dasar sepulang sekolah sudah berangkat ke Kali memanggul sekop. Bahkan ada yang dengan bangga mengaku putus sekolah dari bangku SMP hanya sekedar untuk mencari pasir.

Hingga kini belum ada peraturan tegas yang dibuat oleh para pemangku kebijakan terkait para pekerja anak tersebut. Di satu sisi mereka adalah anak-anak yang seharusnya mengisi waktu mereka dengan menimba ilmu dan bermain, namun di sisi lain karena alasan kemiskinan selalu menjadi tameng klasik dari segala persoalan.

Walaupun harus diakui, tidak semua yang mencari pasir di Kali Putih adalah orang yang tidak mampu. Hal ini terbukti hanya berbekal sekop dan gancu tanpa keahlian khusus, mereka bisa meraup minimal Rp 120ribu perharinya dari satu rit pasir yang mereka dapatkan.

Kini pekerjaan besar bagi para pemangku kebijakan di Kabupaten Blitar untuk dapat mengakomodasi semua kepentingan dari pertambangan pasir di aliran sungai sepanjang lereng Kelud di Kabupaten Blitar, yang konon kualitasnya  terbaik kedua di Jawa Timur setelah pasir Semeru di wilayah Lumajang. (Ev/Red/TJ)

Subscribe

Terimakasih Telah Berlangganan Berita Teras Jatim