Hak Angket DPR Terhadap KPK, Siapa Nanti Yang Malu?

Hak Angket DPR Terhadap KPK, Siapa Nanti Yang Malu?

TerasJatim.com – Isu yang lumayan panas beberapa hari terakhir ini adalah tentang keputusan Sidang Paripurna DPR yang meloloskan Hak Angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Pangkal “panasnya” isu ini bermula saat Miryam S. Haryani (mantan anggota DPR) mencabut keterangannya dalam berita acara pemeriksaan (BAP) sebagai saksi kasus dugaan korupsi pengadaan e-KTP. Di BAP itu, ia menjelaskan soal aliran uang ke sejumlah pihak, termasuk politisi kakap di DPR.

Dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Miryam menyatakan, keterangan itu dibuat atas tekanan dari tiga penyidik KPK, di antaranya Novel Baswedan.

Selanjutnya, tiga penyidik KPK, termasuk Novel Baswedan saat dikonfrontasi dengan Miryam di persidangan kasus e-KTP pada 31 Maret lalu, menyebut pengakuan Miryam yang merasa ditekan oleh setidaknya enam nama koleganya di DPR.

Kemudian dalam rapat bersama antara KPK dan Komisi III, DPR meminta KPK untuk membuka rekaman yang menyebutkan enam nama yang diduga mengancam Miryam. Namun dengan alasan hukum, KPK tak bergeming dan tetap menolaknya.

Tak ayal, isu hak angket semakin kuat dihembuskan oleh DPR. Hingga selanjutnya dalam rapat paripurna Jumat (28/04) lalu, hak angket diloloskan, meski dalam sidang tersebut diwarnai aksi interupsi dan walk out serta ada tiga fraksi yang menolak angket.

Miryam sendiri kini sudah ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka kesaksian palsu, dan hingga saat ini (Minggu, 30/04), dia masuk dalam daftar pencarian orang (DPO).

Menurut pengertiannya, Hak Angket DPR adalah sebuah hak untuk melakukan penyelidikan dalam suatu kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Di sini dapat di pertanyakan, apakah KPK termasuk unsur pemerintah?

Jika ditilik, nuansa aneh dapat ditemukan dalam hak angket kali ini. Di satu sisi DPR selalu mempertanyakan mengapa surat perintah penyidikan (Sprindik) KPK sering bocor. Namun kali ini, DPR justru meminta KPK membocorkan hasil pemeriksaan terhadap Miryam S. Haryani, yang mantan anggota Komisi II DPR itu.

Padahal, siapapun harus memahami bahwa KPK adalah lembaga independen dengan proses hukum yang harus terbebas dari segala bentuk intervensi termasuk intervensi politik.

KPK memiliki hak untuk tidak membuka alat bukti pada siapapun, termasuk kepada DPR. Dengan demikian, rekaman tersebut baru bisa dibuka oleh KPK di muka pengadilan, dan itupun atas perintah hakim.

Tak salah, sejumlah pihak mencurigai bergulirnya hak angket DPR terhadap KPK ini. DPR dicurigai bermanufer untuk melindungi nama sejumlah anggota DPR dari kasus dugaan korupsi pengadan KTP elektronik atau e-KTP.

Dalam persidangan di pengadilan Tipikor Jakarta beberapa waktu lalu, setidaknya terdapat 6 nama anggota DPR yang disebut-sebut ikut mengancam anggota DPR Miryam S Haryani, agar tidak menyebutkan adanya pembagian uang hasil korupsi e-KTP yang merugikan rakyat sebesar Rp2,3 triliun itu.

Jika hal ini benar, pasti ada sebuah kepentingan dan skenario besar untuk membendung kasus korupsi e-KTP tidak menyeret nama-nama lain di DPR, kecuali hanya Miryam S. Haryani yang jadi pesakitan.

Meski saat ini hak angket itu sudah lolos dan disetujui, sejumlah pihak tetap meminta KPK untuk menggunakan hak imunitas-nya untuk menolak membuka rekaman tersebut kepada siapapun, termasuk DPR.

KPK sebagai institusi yang menjadi “obor” di tengah kegelapan perlawanan terhadap para koruptor di Indonesia bukan sekali ini saja mendapat tekanan politik. Sebelumnya muncul upaya melemahkan KPK lewat revisi UU KPK. Publik meresponnya dengan dukungan masif terhadap KPK.

Serangan terbaru terhadap KPK muncul tak lama setelah Novel bersaksi di Pengadilan Tipikor Jakarta. Wajah Novel disiram air keras oleh orang tak dikenal. Upaya menggulirkan hak angket terhadap KPK,dinilai sebagai lembaran tambahan terhadap upaya “menekan” atau melemahkan KPK.

Beruntung, pasca hak angket diloloskan, KPK langsung bereaksi. Melalui Wakil Ketua KPK, Laode M Syarif, KPK memastikan tidak akan menindaklanjuti hak angket tersebut. Sebab hal itu dapat menghambat proses hukum dan berdampak pada penanganan kasus korupsi e-KTP.

Malahan saran yang lebih ‘ekstrim’ lagi disampaikan oleh Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD. Dia berpendapat, KPK tak perlu menggubris hak angket DPR. Sebab hak angket  tidak serta merta mewajibkan KPK membuka rekaman kepada DPR.

Jika diangket oleh DPR, KPK jalan terus saja. Kalau ditanya jawab saja: rekaman hasil pemeriksaan hanya untnk Pengadilan. KPK tak bisa diapa2kan oleh hasil angket,” demikian tulis Mahfud melalui akun Twitternya, @mohmahfudmd, Sabtu (29/04).

Nah lho, jika hak angket DPR nanti tidak berjalan sesuai keinginan DPR, atau setidaknya hak angket tersebut tak digubris KPK, lalu siapa yang malu dan dipermalukan?

Salam Kaji Taufan

(kajitaufan@terasjatim.com)

Subscribe

Terimakasih Telah Berlangganan Berita Teras Jatim