Full Day School

Full Day School

TerasJatim.com – Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) yang baru Muhadjir Effendy, beberapa hari lalu sempat mewacanakan rencana kebijakannya tentang “Full Day School” untuk pendidikan dasar (SD dan SMP).

Kontan, wacana Pak Muhadjir itu menjadi issu yang lumayan hangat di seantero media nasional, dan menutup sejumlah issu panas lainnya, seperti kasus pelaporan Ketua Kontras Haris Azhar ke polisi atas pengakuan mendiang terpidana mati Freddy Budiman yang diunggah di media sosial.

Tentu saja, suara pro kontra menjadi bola liar yang hampir tiap saat menghiasi laman media sosial dan online yang gampang kita temui.

Menyikapi hal tersebut, mentri yang selalu berpenampilan sederhana ini buru-buru menjelaskan pengertian Full Day School.

Menurut pak menteri, Full Day School ini tidak berarti peserta didik atau pelajar harus ngendon belajar seharian penuh di sekolah. Tetapi untuk memastikan bahwa peserta didik dapat mengikuti kegiatan-kegiatan penanaman pendidikan karakter, seperti halnya mengikuti kegiatan ekstrakurikuler dan tetap dalam wilayah sekolah.

Selain itu wacana sistem belajar Fuul Day School tersebut saat ini masih dalam taraf pengkajian dan kementriannya masih mengkaji masukan-masukan dari masyarakat, termasuk kondisi sosial dan geografis yang memungkinkan sistem belajar tersebut diterapkan. Jadi publik diminta tidak ikut  gupuh.

Tentu kita memaklumi kegelisahan publik, pemerhati pendidikan dan sebagian wali murid di republik ini. Kalimat “ganti pejabat, ganti kebijakan” sering bermunculan di saat pejabat publik yang baru diangkat berusaha untuk branding terkait kebijakan-kebijakan yang akan diambilnya.

Publik tentu masih ingat, belum selesai kita membenahi masalah kurikulum yang kerap kali diacak-acak, sekarang muncul wacana untuk ‘Anak Sekolah Sehari Penuh’, dengan alasan pendidikan dasar saat ini tidak siap menghadapi perubahan jaman yang begitu pesat.

Padahal, jika kita mengacu pada sekolah di negara-negara maju saat ini, mereka menerapkan pola less school time, no homework, more about character building (jam sekolah berkurang, tidak ada lagi PR, dan lebih untuk membangun karakter).

Bisa jadi, saya termasuk orang yang tidak terlalu terkaget-kaget dengan wacana kebijakan ini. Hampir semua anak-anak saya sejak SD sudah terbiasa dengan rutinitas seharian di sekolah.

Rata-rata mereka berangkat dari rumah pukul 06.15 dan baru kembali di rumah sehabis Ashar. Kadang di benak saya terbersit juga perbedaan mencolok saat saya bersekolah dulu. Ketika itu kita semua berangkat pukul setengah tujuh, dan saat belum bedug Dhuhur sudah berada di rumah untuk bermain.

Kita tentu terus mendorong pemerintah agar mencari pola dan model yang tepat tentang sebuah pendidikan yang benar buat putra-putri kita. Sistem Full Day School bisa jadi cocok di sebuah wilayah, tapi kemungkinan akan tidak pas jika diterapkan pada wilayah tertentu.

Paling tidak, sistem pendidikan nasional tidak boleh lagi menganut pola “seragam” dari Sabang hingga Merauke. Jika kita iingin mengedepankan pola pendidikan karakter, mungkin perlu disesuaikan dengan wilayah demografi, geografi, sosiologis, kultur, dan psikologisnya. Selain itu, perlu dilihat juga tentang ketersediaan dan kesiapan infrastruktur, siswa, dan gurunya.

Kalau mau jujur, masih banyak masalah yang belum terselesaikan di masa Mendikbud sebelumnya, seperti alih kelola, kurikulum, dan ujian nasional.

Belum lagi masalah-masalah lain yang harus menjadi fokus pekerjaan dunia pendidikan kita hari ini, seperti bagaimana membenahi 8 standar pendidikan nasional yang hingga kini masih menjadi pekerjaan rumah bagi dunia pendidikan kita.

Jadi, rasanya kita tidak perlu ikut-ikutan gaduh tentang wacana Full Day School. Dengan modal berprasangka baik sembari terus mencermati bahwa model sekolah apapun ditujukan untuk kebaikan masa depan anak-anak kita, adalah sebuah langkah bijak yang menyejukan.

Salam Kaji Taufan

Subscribe

Terimakasih Telah Berlangganan Berita Teras Jatim