Elegi Sepatu Butut

Elegi Sepatu Butut

TerasJatim.com – Saat melihat laman TerasJatim.com (Sabtu, 31/10), saya tertegun dengan sebuah berita dari teman reporter di Blitar yang berjudul “Karena Sepatunya Jelek, Siswa SD nekat Gantung Diri”. Jujur, hingga tengah malam berita itu masih bergelayut di pikiran saya. Betapa tidak, anak  yang bernama Mohamad Andri Ariyanto dan berusia 10 tahun dan masih duduk di kelas 4 SD Negeri Suko Anyar 2 Kecamatan Kesamben Kabupaten Blitar itu, nekat mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri.

Buat sebagian dari kita, penyebabnya bisa dianggap sepele, karena dia selalu diejek oleh teman-temannya di sekolah akibat sepatu yang dia kenakan sehari-hari sudah jelek. Anak ini bisa jadi mengalami problem psikologi yang cukup berat dengan kondisi kehidupannya saat itu. Selain rasa malu karena sepatunya sudah waktunya ganti, di sisi lain dia juga memikirkan kondisi ekonomi orang tuanya yang kurang mampu untuk sebuah ukuran ekonomi keluarga.

Kalau saja kita mau jujur, potret kasus anak seperti  ini banyak terdapat disekeliling kita. Banyak anak yang seharusnya menikmati dunianya sebagai anak-anak, dipaksa ikut menderita karena keterbatasan dan kemiskinan ekonomi orang tuanya.

Padahal kita sering mendengar sebuah ajaran luhur sebagai orang jawa, bahwa anak seharusnya kita tempatkan sebagai hal yang utama dengan istilah yang digambarkan sebagai “Gondelane Ati atau Gantilaning Ati”. Istilah tinggi itu, untuk menggambarkan betapa istimewanya seorang  anak bagi orang tua. Ini menggambarkan bahwa anak sesungguhnya selalu dekat dengan hati orang tua, karena pada dasarnya anak terlahir sebagai buah cinta dan titipan Yang Maha Kuasa.

Namun faktanya, kadang kemiskinan dan kemelaratan dalam sebuah keluarga bisa menghalangi itu semua. Kemiskinan kadang menjadikan ketidakmampuan orang tua untuk memenuhi kebutuhan dasar anaknya, seperti makanan, pakaian, tempat berlindung, pendidikan, dan kesehatannya. Ketidakmampuan ekonomi keluarga,  tidak jarang pula menjadi penyebab keluarga yang tidak begitu “care”  dengan anak-anaknya.

Seharusnya dalam kasus ini, negara dalam hal ini pemerintah (dan pemerintah daerah) bisa dianggap kurang tanggap dan cenderung lalai dalam mengurus kebutuhan hajat hidup rakyatnya. Hanya karena nilai sepatu anak-anak yang di pasaran seharga 75 ribuan saja, negara telah kehilangan satu tunas mudanya.

Negara dalam hal ini pemerintah dan unsurnya, seharusnya hadir dan memiliki tanggung jawab besar terhadap pendidikan rakyatnya, khususnya anak-anak miskin yang butuh perhatian lebih. Sebab dari pendidikan inilah, anak-anak miskin akan belajar cara merubah nasibnya, agar kelak  tidak menjadi miskin kembali. Negara seharusnya selalu mengontrol apa yang menjadi keluhan dan hambatan dalam pendidikannya. Sebab apapun alasannya, kemiskinan rakyatnya adalah tanggung jawab negara.

Kita berharap, kasus ini yang terakhir kalinya terjadi di bumi pertiwi. Seharusnya siapapun yang mempunyai amanah untuk mengurus negara ini memahami, ternyata kita masih mendengar ada anak-anak di negeri ini yang kesulitan untuk mendapatkan sepatu yang layak untuk dikenakan ke sekolah setiap harinya.

Dengan tulisan ini, seharusnya ketika kita memandangi sepatu kita yang kinyis-kinyis, hati kita ikut menangis. Ternyata di negeri ini, ada seorang anak kecil yang hanya karena sepatu, nekat membuat kita menjadi miris.

Selamat jalan nanda Mohamad Andri Ariyanto, karena alasan kemiskinanmu, semoga arwahmu di surga.

Salam Kaji Taufan

Subscribe

Terimakasih Telah Berlangganan Berita Teras Jatim