Didik Nini Thowok Belajar Seni Kehidupan Pada Mbah Rasimun Malang

Didik Nini Thowok Belajar Seni Kehidupan Pada Mbah Rasimun Malang
Maestro seni Indonesia Didik Nini Thowok saat menerima TerasJatim.com di Malang

TerasJatim.com, Malang – Kerendahan hati dan rasa memanusiakan terhadap sesama membuat seniman mampu menggapai kemurnian dalam rasa berkesenian dan hidup.

Didik Nini Thowok, seorang maestro tari kelahiran Temanggung Jawa Tengah yang banyak ngangsu ilmu dari banyak maestro tari dari beberapa daerah di Indonesia, mengaku mempelajari “rasa” itu dari kehidupan banyak gurunya.

Ditemui di D, Corner Guest House di jalan Telomoyo Kota Malang, Didik yang lahir dengan nama Kwee Tjoen Lian ini menceritakan sedikit riwayat dirinya mengenal keelokan kesenian tari yang membawa dirinya dikenal luas hingga mancanegara.

Berawal dari kesukaan menari dan mempelajari kearifan lokal yang berkembang di Temanggung di waktu kecil, membawa Didik konsisten belajar kesenian dan memegang teguh kearifan lokal masyarakat Jawa hingga kini.

Di tahun 2000 saat dirinya menuntut ilmu ke negara Tirai Bambu  dan Jepang, dirinya mempunyai tugas belajar kesenian tari yang mempunyai basic cross gender yang ada di Indonesia. “Cross Gender itu kan seperti di Ludruk, seniman laki-laki berperan menjadi perempuan, begitupun sebaliknya perempuan berperan laki-laki itu juga disebut Cross Gender,” tutur Didik yang malam itu mengenakan selendang batik.

Dengan santun dirinya terus menguraikan perihal “tugas” belajar yang sponsori oleh Japan Foundation ini, yang akhirnya membawanya mengenal maestro Gunung Sari Topeng Malangan dari Glagah Dowo, Tumpang Malang, yang tak lain adalah Mbah Rasimun.

Namun, jauh sebelum dirinya berangkat ke Jepang, Didik memang sudah mendalami kesenian tari yang Cross Gender. Dari sinilah dirinya “terpilih” sebagai seniman tari Indonesia yang bisa mendapat sponsor Japan Foundation.

“Sponsornya kan kebetulan Japan Foundation, dan di dalamnya  ada beberapa departemen, salah satunya Asia centre yang dipimpin oleh Ibu Yuki Hata,” lanjut pria kalem ini.

Selama belajar di Jepang, Didi Nini Thowok dalam monitor Yuki Hata, dan di tahun 2001 Yuki mempunyai proyek membawa seniman Cross Gender tampil keliling Eropa.

Di sinilah Didik menjadi seniman Cross Gender satu-satunya dari Indonesia yang mewakili seniman tari keliling Eropa. “Di sini dipilih 4 negara, yaitu Tiongkok, Jepang, India dan Indonesia,” urainya.

Berawal dari proyek inilah, di akhir tahun 2000 dirinya pulang ke Indonesia untuk menunaikan mandat mencari dua kesenian Cross Gender yang terkenal di masyarakat Indonesia. Sebagai seniman yang dari awal menari dan sudah mendalami seni tari Cross Gender, Didik tidak merasa kesulitan karena dirinya sudah menguasai satu seni tari tersebut yang ada di Keraton Jogjakarta. Satu materi tarian sudah dia miliki, tinggal satu lagi materi tari yang harus dirinya kuasai.

Di tahun itu, dirinya yang juga masih sebagai dosen di Institut Seni Indonesia (ISI) Jogjakarta mendapat kemudahan mencari materi kesenian, hal ini karena banyak seniman daerah yang menjadi mahasiswanya. Namun dengan banyak pertimbangan akhirnya dirinya memilih Jawa Timur.

“Sebelumnya saya tidak mengenal tari Beskalan Putri, tahunya Remo Putri, dan saya kebetulan kenal Cak Soleh (Ki Soleh Adipramono) mahasiswa saya waktu itu, dan Cak Soleh kan yang paham kesenian Jawa Timur,” ungkap Didik mengisahkan awal mula dirinya mengenal Mbah Rasimun.

Dengan bantuan Ki Soleh inilah, Didik akhirnya bisa belajar dan menimba ilmu dari Mbah Rasimun, Glagah Dowo. Mbah Rasimun sendiri adalah seniman sepuh Topeng Malangan yang ada di Glagah Dowo Tumpang.

“Cak Soleh menyarankan saya belajar Beskalan Putri, “eh mas Didik kayaknya cocok belajar Beskalan Putri, oh ya udah monggo dikenalno Gurune tak undang ke Jogja,” kenangnya menirukan ucapan Ki Soleh saat menganjurkan Beskalan Putri.

Sejak itulah, Didik mengenal sosok Mbah Rasimun dengan mengundangnya ke Jogja dengan tujuan menimba seni Beskalan Putri Glagah Dowo yang terkenal “alusan”.

Didik menuturkan saat itu kesehatan Mbah Rasimun sedikit terganggu, namun Mbah Rasimun tetap berangkat ke Jogja dan melatih dirinya selama seminggu.

Awal perkenalan dan bertemunya dengan Mbah Rasimun inilah, Didik mengaku melihat seorang maestro tari yang sangat sederhana dan tidak neko-neko. Dirinya mengaku selain belajar tari selama Mbah Rasimun di Jogja, Didik juga menyerap kesahajaan dan kerendahan hati sang guru. Meskipun hanya seminggu dirinya belajar pada Mbah Rasimun, namun ada semacam pertalian antara guru dan murid yang tetap terjalin hingga kini, walau Mbah Rasimun telah meninggal di tahun 2003.

“Ada semacam balas budi kepada Mbah Rasimun, meskipun beliau telah meninggal, dan saya di tahun 2005 pernah datang nyekar ke makam Mbah Rasimun, namun saya yang ditemani beberapa seniman Malang kesulitan menemukan makamnya,” urainya mengisahkan tali kasih antara dirinya dan Mbah Rasimun.

Meskipun sedikit kesulitan menemukan makam Mbah Rasimun karena penanda makamnya telah hilang, dirinya berhasil menemukan dari petunjuk sanak saudara Mbah Rasimun saat itu.

Dari sinilah dirinya berujar bila mempunyai rejeki akan mengkijing makam Mbah Rasimun, hal ini tak lain adalah salah satu bentuk penghormatan dirinya kepada sang guru yang telah melatih tari Beskalan dan kerendahan hati sebagai pegangan hidup.

“Mbah Rasimun dimata saya adalah seniman yang sederhana, Humble, tidak neko-neko dan memang hidupnya tidak berlimpah harta, namun hidupnya tentram dan bersahaja,” kenangnya.

Tepat di 12 tahun meninggalnya Mbah Rasimun, Didik kembali ke Malang dan menunaikan janji yang sejak dahulu diimpikan untuk mengkijing makam Gurunya itu.

“Mungkin dari rasa keikhlasan datang ke Malang ini, saya beberapa kali menemukan banyak kemudahan dan hal yang serba kebetulan,” tuturnya.

Dengan disaksikan banyak seniman Malang, Didik Nini Thowok dan KI Soleh AdiPromono menggelar acara Sradah (Haul 12 tahun) Mbah Rasimun yang bertempat di pemakaman umum desa Wangkal, Glagah Dowo, Tumpang Kabupaten Malang.

Selain kirim doa dalam ritual ini juga ditampilkan tarian oleh Supriadi, salah satu murid tari dari sanggar Mangun Darmo Tumpang Malang. (Nas/TJ)

Subscribe

Terimakasih Telah Berlangganan Berita Teras Jatim