Data Paspor Dikoreksi, TKW Asal Blitar Divonis 5 Bulan Penjara di Hong Kong

Data Paspor Dikoreksi, TKW Asal Blitar Divonis 5 Bulan Penjara di Hong Kong
Dwi Murahati (51)

TerasJatim.com, Jakarta  – Dwi Murahati (51), tenaga kerja wanita asal Desa Jati, Kelurahan Kamulan, Kecamatan Talun, Kabupaten Blitar, Jawa Timur, Jumat, (03/06), divonis bersalah oleh Pengadilan Shatin, Hong Kong, atas tuduhan pemalsuan data paspor. Dwi dijatuhi hukuman lima bulan penjara.

Dwi Murahati tercatat  menjadi buruh migran ke tujuh yang tersandung kasus pemalsuan data yang dituduhkan kepada sejumlah pekerja migran Indonesia di Hong Kong. Sebelumnya, Suyanti adalah korban keenam yang dipenjara di Hong Kong sejak penerapan paspor biometrik pada Januari 2015. Korban lain adalah Slamet Riyani, SS, SNI, MH dan AR. Selain itu, tak terhitung buruh migran yang terpaksa memutuskan kontrak dan pulang ke Indonesia karena takut dipenjara.

Sejak Januari 2016, masih ada sekitar 17 orang buruh migran Indonesia yang sedang dalam proses persidangan dan kemungkinan besar mereka akan bernasib sama.

Dwi Murahati dijerat empat tuduhan, yakni menggunakan surat perjalanan palsu untuk masuk ke Hong Kong, serta memberi pernyataan palsu pada imigrasi saat masuk dan keluar Hong Kong. Di detik-detik terakhir sidang pembacaan vonis, ibu beranak dua itu menerima saran pengacaranya untuk mengaku bersalah setelah tidak ada lagi bukti yang bisa membebaskannya.

“Saya tetap tidak mengaku bersalah sebab itu bukan kesalahan saya. Tetapai karena saya sudah tidak punya jawaban untuk meyakinkan hakim, saya harus mengakui kesalahan yang tidak saya lakukan,” kata Dwi Murahati sebelum memasuki Ruang Sidang Nomor 7, Jumat, (03/06).

Kasus yang berkaitan dengan keimigrasian dianggap pelanggaran serius yang bersanksi hukuman 12-18 bulan penjara. Dalam kasus Dwi Murahati, hakim tidak bisa membebaskan dia karena sulit mempercayai alasan bahwa perusahaan pelaksana penempatan tenaga kerja Indonesia swasta atau PPTKIS (dulu penyalur jasa tenaga kerja Indonesia/PJTKI) yang mengubah data paspor milik Dwi Murahati.

Namun hakim meringankan hukuman karena Dwi Murahati bersedia mengakui kesalahan dan pernah berupaya membetulkan data identitas, serta dianggap menyerahkan diri saat mengubah data dirinya di Departemen Imigrasi Hong Kong pada 2015.

Dwi Murahati bekerja di Hong Kong sebagai pekerja rumah tangga sejak 2003 melalui PT Tritama Binakarya, PPTKIS yang beralamat di Jalan Ki Ageng Gribig 299, Kelurahan Madyopuro, Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang.

Para aktivis buruh migran Indonesia menganggap Dwi Murahati sebagai korban pemalsuan data paspor. Dwi Murahati pernah berupaya membetulkan data dirinya ke agennya di Hong Kong. Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Hong Kong sudah berupaya mengkoreksinya pada tahun 2006. Dwi Murahati mendatangi KJRI, tapi pegawai KJRI mengatakan tidak ada cara mengubah datanya dan tetap harus menggunakan data yang tertera di paspor.

Pada 2015 Dwi hendak memperpanjang paspor di KJRI Hong Kong. Saat itu pemerintah baru saja memberlakukan paspor biometrik melalui Sistem Manajemen Informasi dan Keimigrasian. Secara sepihak, data diri Dwi Murahati diperbaiki. Dwi menolak, namun selama tiga bulan KJRI tidak mengeluarkan paspor baru sampai Dwi kahabisan visa kerja.

Karena harus memperpanjang visa kerja, Dwi terpaksa menerima keputusan KJRI untuk mengubah datanya. Saat itu, Konsul Imigrasi Andry Indrady menjamin Dwi Murahati takkan dipenjara. Tapi ternyata pada November 2015 Dwi Murahati ditangkap imigrasi Hong Kong dan sejak itu dia jadi tahanan samia dia diadili di Pengadilan Shatin dan berbuah vonis 5 bulan penjara.

Menurut Sringatin, Ketua Indonesia Migrant Worker Union (IMWU) merangkap Koordinator Jaringan Buruh Migran Hong Kong, dalam persidangan KJRI Hong Kong tidak menjadi saksi. KJRI hanya menyerahkan surat mitigasi yang menjelaskan latar belakang Dwi Murahati tanpa menerangkan alasan pengubahan identitas Dwi Murahati. Surat ini hanya bisa dijadikan pertimbangan hakim untuk meringankan hukuman, tapi tak bisa dijadikan jaminan untuk membebaskan Dwi Murahati dari dakwaan.

“Sebenarnya Hong Kong tidak akan tahu data yang asli jika KJRI tidak membetulkan. Lagi pula, dia sudah punya iktikad baik untuk memperbaiki data yang salah, kok malah dihukum,” kata Sringatin.

Pemerintah dianggap mengetahui banyaknya pemalsuan data yang dilakukan oleh PPTKIS/PJTKI, tapi dibiarkan saja. Pemalsuan data paspor merupakan salah satu praktek perdagangan orang atau human trafficking sehingga seharusnya pemerintah Indonesia menghukum PPTKIS dan semua pihak yang terlibat dalam mafia perbudakan tersebut. (Her/Kta/Red/TJ/Tempo/JBMIhongkong)

Subscribe

Terimakasih Telah Berlangganan Berita Teras Jatim